JBDK on Jawa Pos 24 Februari 2008


Lebih Dekat dengan Sony Adi Setyawan

Kampanyekan "Jangan Bugil Depan Kamera"
Teknologi sering menunjukkan pencapaian prestasi tinggi anak manusia. Tapi, hal itu juga bisa mendorong perilaku (moral) anak manusia ke titik nadir. Karena itu, perlu adanya keseimbangan sehingga pencapaian teknologi tinggi tidak mengakibatkan dekadensi moral.

Nyatanya, keseimbangan itu sulit dicapai. Kemajuan teknologi sering menggerus fondasi-fondasi moral. Contohnya, teknologi handphone, kamera, dan internet yang belakangan bersine
rgi meruntuhkan norma-norma agama dan sosial (moral).

Maka, muncullah cuplikan tayangan film perilaku seksual melalui handphone yang tiap hari terus bertambah. Bahkan, hingga saat ini, 500 lebih cuplikan video porno beredar luas di internet. Yang lebih memasygulkan, rata-rata pemeran utama dalam video tersebut adalah para remaja yang berlatar belakang mahasiswa dan pelajar.

Maraknya perilaku pembuatan klip video (porno) dari HP dan kamera itulah yang memantik kegelisahan Sony Adi Setyawan. Melalui kampanye Jangan Bugil Depan Kamera (JBDK), Sony
berupaya menyadarkan masyarakat luas tentang bahaya perilaku menyimpang tersebut.


Kini perilaku seks menyimpang bukan lagi ancaman, melainkan sudah menjadi fakta yang terpampang. Hampir setiap hari, karya cuplikan film porno yang menggambarkan hubungan seks orang Indonesia yang dibuat dengan menggunakan handphone dan video kamera muncul di situs porno internet.

Untuk tayangan video berformat 3GP itu, 90 persen adegan diperagakan anak muda SMA dan mahasiswa. Delapan persen pemerannya adalah prostitusi, pejabat negara, dan pemerintah (DPR dan pegawai negeri) serta dua persen adalah cuplikan kamera pengintai yang mencuri gambar para wanita muda yang sedang bugil tanpa sadar di toilet atau di kamar hotel.

"Kondisi ini semakin menunjukkan buruknya perilaku penyimpangan seksual yang dilakukan. Pemeran film ini tidak menyadari akibat dari perilakunya yang merugikan, baik bagi dirinya maupun pihak-pihak yang berhubungan dengannya," ujar Sony ketika ditemui Radar Jogja (Grup Jawa Pos) di Jogjakarta Rabu (13/2) pekan lalu.

Sony mengungkapkan, meningkatnya karya video porno itu merupakan dampak perkembangan teknologi ponsel (handphone). Selain berdampak positif, perkembangan teknologi kamera ponsel berefek buruk pada terjadinya penyalahgunaan teknologi tersebut.

Dia mengungkapkan, hingga saat ini lebih dari 500 cuplikan film porno dan ribuan karya gambar porno beredar luas di internet. "Baik yang disengaja maupun tidak disengaja, atau hasil perilaku kejahatan, seperti pemerkosaan, penistaan, dan pelecehan," tuturnya.

Lulusan Jurusan Ekonomi Manajemen UNS Solo itu memaparkan, para pemeran tersebut tidak menyadari bahwa kegiatan coba-coba itu akan beredar luas di masyarakat dan berdampak buruk. Namun, sebagian lain "terpaksa" melakukan perbuatan tersebut karena permintaan pasangannya.

"Entah itu karena tuntutan ekonomi atau lantaran terbuai rayuan sang pacar. Tapi, sebagian pasangan melakukannya karena kelainan seksual atau ingin mengejar popularitas," tuturnya.

Dia mengungkapkan, yang paling dirugikan dalam kegiatan tersebut tetap kaum perempuan. Apalagi mereka yang masih di bawah umur atau tidak berstatus pasangan resmi. Hal itu, lanjut Sony, disebabkan belum ada hukum di Indonesia yang melindungi remaja atau pasangan pacaran.

"Yang ada di Indonesia hanya aturan tentang kekerasan dalam rumah tangga. Bagi wanita yang dalam masa pacaran, belum ada (aturan, Red). Ini membuat para pelaku tidak bisa dijerat dengan aturan hukum," paparnya.

Hal itu, kata dia, berbeda dengan Amerika Serikat. Di sana ada national dating violence abuse protocol. Aturan itu diberlakukan pada remaja mulai usia 14 tahun. "Remaja Amerika tidak bisa seenaknya pacaran. Para orang tua gadis meminta syarat tertentu ketika mengetahui anaknya punya pacar. Misalnya, meminta fotokopi KTP sampai membuat perjanjian keseriusan hubungan. Jadi, ketika terjadi sesuatu dengan anak gadisnya, orang tua bisa meminta pertanggungjawaban pelaku," terangnya.

Nah, hal itu belum ada di Indonesia. Sony mengaku telah melakukan pendekatan dan mengusulkan kepada pemerintah. Namun, lagi-lagi ide tersebut kandas karena kurangnya perhatian pemerintah. "Saya sudah mencoba memberikan masukan ke menteri komunikasi dan informasi tentang wabah perilaku bugil di depan kamera ini. Tapi, ternyata kurang dapat respons," ujarnya.

Menurut dia, aturan itu tidak harus dalam bentuk perundangan. Cukup dalam bentuk protokol yang diaplikasikan di berbagai sektor, seperti pendidikan, kebudayaan, dan kegiatan kepemudaan. "Dalam hal ini, saya sedang melakukan pendekatan ke kementerian pemberdayaan perempuan untuk menggodok draf aturan itu. Hanya untuk saat ini, saya lebih fokus terhadap kekerasan pada masa pacaran," tandasnya.

Menurut Sony, jumlah karya video porno dan gambar saru itu sebenarnya lebih banyak dibandingkan yang muncul saat ini. Seperti fenomena gunung es, karya yang ada hanya sebagian kecil dari kondisi yang sebenarnya.

"Sesungguhnya, masih banyak karya yang belum terekspos. Bahkan, lebih dahsyat dari (yang diketahui orang, Red) saat ini," ungkapnya. (syukron muttaqien/jpnn/ib)

Comments

Anonymous said…
JBDK apaan sih