Mengapa Ada Banci di Televisi Kita? : Jalan Panjang Sejarah Kesenian Rakyat



JAKARTA, BPOST - Menyambut datangnya Ramadan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan menegur stasiun televisi yang menayangkan acara-acara ‘nyeleneh’. Salah satunya adalah tayangan yang menampilkan adegan kebanci-bancian. Hal tersebut diungkapkan Ketua KPI Pusat Sasa Djuarsa Sendjaja dalam diskusi bertajuk ‘Tampilan dengan Model Kebanci-bancian di Televisi Kita’ di Gedung Bapeten, Jakarta, Sabtu (30/8).

Mengapa Ada Banci di Televisi?


Bulan ramadhan kali ini mungkin menjadi bulan paling meresahkan bagi sebagian pembawa acara atau host, tim kreatif dan banyak seniman di beberapa stasiun televisi. Adanya surat dari KPI dan pernyataan dari ketua KPI yang akan menegur stasiun televisi yang menayangkan acara-acara nyeleneh, membuat beberapa perdebatan terjadi.

Saya sebagai penulis naskah dan sedang terlibat di dalam pembuatan acara ramadhan merasa perlu untuk melakukan sebuah pendekatan wacana yang mengkritisi masalah ini. Saya bertindak atas nama pribadi dan mencoba duduk di wacana yang berbeda agar lebih mewarnai kebebasan berfikir dan berdemokrasi di Negara ini.

Saya tidak akan menolak setiap pendapat para psikolog yang mencoba melihat efek negative dari tayangan-tayangan televise, apalagi pokok perdebatan di bulan ini yang paling hangat, masalah seputar banci yang melawak sepanjang waktu di televise. Tetapi saya minta sebuah ruang diskusi terbuka yang bisa membuka sekat-sekat kita dan mencoba untuk berteman walaupun dengan pendapat berbeda.



Mari kita telusuri, dari mana asal muasal ide untuk membuat tayangan banci dari pendekatan histories dan budaya. Saya mencoba menelusuri sebuah jalan panjang budaya, kesenian rakyat dan sebuah perjuangan hidup dan mati para seniman, yang rela mengabdikan diri bertingkah lucu ala banci dan akhirnya menjadi seniman-seniman pertunjukan yang diakui masyarakat.


Seniman Tempo Doeloe : Kala Gaya Banci menjadi Senjata Perjuangan


Mari kita tengok Indonesia di era tahun 1940-1950, pada saat itu, kesenian rakyat yang menjadi icon hiburan entertainment paling terkenal adalah ludruk. Hasil penelitian Suripan Sadi Hutomo, menurut kamus javanansch Nederduitssch Woordenboek karya Gencke dan T Roorda (1847), Ludruk artinya Grappermaker (badutan). Sumber lain menyatakan ludruk artinya penari wanita dan badhut artinya pelawak di dalam karya WJS Poerwadarminta, Bpe Sastra (1930).

Pada jaman perang dan revolusi, wanita tidak sembarangan boleh tampil di dunia hiburan. Selain masalah keamanan, kalangan masyarakat bahkan ulama, menganggap, wanita ditabukan menjadi penghibur atau seniman. Pada jaman perang, boleh dipastikan, grup-grup kesenian keliling, adalah satu grup yang semuanya bejenis kelamin laki-laki. Selain menghibur rakyat, grup-grup kesenian rakyat juga dijadikan alat penghibur bagi para pejuang, tentara yang melepas lelah setelah berjibaku di medan tempur.

Untuk membuat meriah suasana dan menampilkan unsur komedi yang kental, maka para seniman ludruk ada yang membuat dandanan seperti seorang waria, bergaya ala banci dengan make up belepotan ala badut di wajahnya. Modifikasi ini, ternyata sangat ditunggu masyarakat. Gaya badut dan lelaki bergaya banci plus dialog-dialog komedi menjadi ramuan awal terciptanya kesenian komedi khas rakyat.

Ludruk dengan gaya bancinya, bahkan menjadi alat perjuangan untuk mengkritik penjajah jepang dan belanda. Ditahun 1933, cak Durasim mendirikan Ludruk Organizatie (LO). Ludruk inilah yang merintis pementasan ludruk berlakon dan amat terkenal keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan baik Belanda maupun Jepang.

Ludruk pada masa ini berfungsi sebagai hiburan dan alat penerangan kepada rakyat, oleh pemain pemainnya, ludruk digunakan untuk menyampaikan pesan pesan persiapan Kemerdekaan, dengan puncaknya, peristiwa akibat kidungan Jula Juli yang menjadi legenda di seluruh grup Ludruk di Indonesia yaitu : Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro., cak Durasim dan kawan kawan ditangkap dan dipenjara oleh Jepang.. Dengan atribut ala banci, mereka membuat berbagai lawakan berani yang secara tegas menunjukkan eksistensi kesenian rakyat melawan penjajah.

Di periode 60-an, kelompok kesenian ini mendapat perlindungan dan pengakuan dari pemerintah kala itu. Beberapa grup kesenian ludruk dikirimkan ke irian jaya untuk menghibur para prajurit yang sedang berjuang dalam operasi TRIKORA II. Tentu saja, pola permainan lawakannya menggunakan ramuan yang sama, Lelaki bergaya banci digabungkan dengan badut dan acting komedi.


Era Srimulat


Lalu masuklah era Srimulat yang mempopulerkan komedi egaliter ke layar televise. Beberapa pemainnya menggunakan atribut wanita demi menambah unsure komedinya. Idenya sebenarnya sederhana, para pendiri srimulat dan pembuat cerita kreatif di masa itu, tidak tega membuat komedi yang harus diperankan secara gila-gilaan oleh wanita. Mereka terinspirasi dari gaya ludruk yang menggunakan pemain pria yang bergaya ala wanita untuk menampilkan sisi-sisi aneh sifat-sifat perempuan dengan agak ekstrim.

Srimulat juga dikenal sebagai grup komedi yang menempatkan wanita tidak menjadi tokoh jahat, melainkan menjadi panutan atau istilahnya tokoh-tokoh protagonist. Tetapi untuk tokoh pencitraan wanita-wanita yang agak gila atau edan, mereka menggunakan pemain laki-laki. Selain dapat menyindir tingkah laku wanita yang kadang membuat pusing, pencitraan dengan gaya banci seperti ini juga tidak membuat para wanita merasa sakit hati (karena sudah disindir).

Lalu, kalaupun sekarang ada sebuah larangan atau sebuah teguran atau sebuah debat yang panjang yang intinya mencoba melarang banci untuk ditampilkan di televise, kita sedang bermasalah bila membandingkan sejarah hiburan masa kini dan masa lalu.

Jika dulu,. Kesenian ludruk dengan senimannya yang bergaya banci dapat menghibur rakyat, memberikan penerangan, alat perjuangan dan sekaligus sebagai alat syiar agama, (beberapa grup ludruk di masa lalu banyak membawa lakon walisongo dan parikan nasehat-nasehat agama), maka seharusnya kita harus mau membuka wacana, bahwa kita berada di tengah pluralisme budaya.

Maka, jika kita berusaha mempertentangkan dan mencari mana salah dan yang benar, kita tidak akan mendapatkan kata sepakat. Mari kita duduk lebih rukun untuk menyikapi hal ini. Toh, kita masih dapat memperbaiki lebih baik tayangan televisi.



Salam


Sony set

0818 936 046


sebagian data di tulisan ini diambil dari situs : http://unit.itb.ac.id/~loedroek/?page_id=5

Comments

PNMF said…
Dalam kebudayaan Bugis-Makassar pun, pendeta waria atau bissu menjadi orang-orang yang disegani karena kemampuan mereka dalam berbagai bidang seperti agama tradisional dan peperangan.
Tidak ada masalah sih, selama kemunculan kaum waria atau banci itu memang diperlukan dalam membangun cerita. Tapi, sebagian tayangan kan tidak begitu? Kaum banci digambarkan konyol dan cuma jadi obyek cemoohan dan penghinaan atas nama 'lawak'. Kelihatannya, ini cuma jadi jalan pintas untuk memancing tawa penonton. Maaf ya Mas, tapi saya kok merasa para penulis cerita yang gemar menampilkan sosok banci sebenarnya cuma malas, maunya yang gampang. Contohnya di segmen Sinden Gosip Extravaganza yang mengandalkan gaya 'cewek' Tora Sudiro dan plesetan lagu-lagu menjadi gosip yang sebenarnya cuma fotokopi tayangan gosip di TV. Memangnya si Tora diperlukan di situ?
infogue said…
Artikel anda:

http://hiburan.infogue.com/
http://hiburan.infogue.com/mengapa_ada_banci_di_televisi_kita_jalan_panjang_sejarah_kesenian_rakyat

promosikan artikel anda di infoGue.com. Telah tersedia widget shareGue dan pilihan widget lainnya serta nikmati fitur info cinema untuk para netter Indonesia. Salam!
Anonymous said…
banci dihalalkan di dunia peran...tapi akan menjadi contoh yang tidak baik bagi penontonnya....bisa jadi anak-anak bakal niruin gaya2 banci...trus jadi banci beneran