Sony Adi Setyawan: Jangan Bugil di Depan Kamera


Sony Adi Setyawan: Jangan Bugil di Depan Kamera

Oleh Reiny Dwinanda

Jangan bugil di depan kamera (JBDK)! Ajakan itu digaungkan Sony Adi Setyawan pada 11 April 2007. "Waktu itu, saya sampaikan dalam bentuk tulisan di tiga mailing list (milis)," kenangnya.

Dua dari tiga milis tersebut banyak beranggotakan jurnalis. Lantas, dua puluh empat jam kemudian, hal yang dianggap Sony ajaib terjadi. "Dua puluh radio menghubungi, mengajak saya berbagi pemikiran dengan pendengarnya."

Sony terkesima mendapati respons luar biasa positif tersebut. Hal yang tadinya hanya berupa wacana seketika didesak untuk menjadi aksi nyata. "Saya lalu membuat buku menyusul temuan 500 lebih video porno yang diperankan anak bangsa," ungkapnya.

Temuan itu membuat Sony prihatin. Sebagai seorang ayah, ia ingin sekali nantinya sang buah hati bisa menapaki masa remaja belianya dengan lingkungan yang aman. "Tidak terpapar video porno," harapnya.

Sejak bukunya diluncurkan, tepatnya pada 25 Juli 2007, undangan untuk berbicara di berbagai forum mengalir tanpa henti. Sebisa mungkin, ia memenuhi undangan tersebut. "Sampai capek mengikutinya," kata alumnus Fakultas Ekonomi Universitas 11 Maret ini.


Keletihan tidak menghalangi Sony untuk bergerak. Semangatnya masih membara. "Sebelumnya, sepanjang tahun 2004 sampai awal 2007, saya belum mengerti teknologi video kamera pada ponsel, sementara orang-orang sudah banyak yang memutar video porno di HP-nya."


Sony mengaku, dirinya bukan orang yang tidak pernah menyaksikan video porno. Namun, ketika melihat ada video adegan intim yang dilakukan anak pelajar, batinnya berontak. "Kalau kita tertawa menyaksikannya, berarti ada yang salah," kata dosen praktisi di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta, ini.


Sony menemukan banyak sekali video adegan intim pelajar yang direkam dengan kamera ponsel. Dengan sikap narsisme yang kelewat berlebih ataupun kelalaian menyimpan ponsel, gambar sensitif itu pun mudah menyebar. "Jadi, jangan bugil di depan kamera ponsel."


Rekaman video sifatnya permanen. Fakta ini tak banyak diketahui masyarakat. "Meski sudah dihapus, sesungguhnya data masih bisa di-recover dan dapat dilihat kembali videonya," urai Sony.

Kenyataan itulah yang menguatkan Sony untuk meneruskan gerakan JBDK. Bukan cuma menggugah orang untuk tidak merekam ataupun memotret pose porno yang digulirkan Sony. "Kami juga menyebarkan tools menyikapi pornografi. Sejauh ini, sudah ke sejumlah komunitas, 50 SMP, dan SMA serta 17 perguruan tinggi."

Sony juga berupaya menghimpun data dan memantau peredaran video porno baru. Apa perlunya? "Kita harus melindungi agar angka pecandu usia dini tidak meroket karenanya."

Terkait dengan kasus yang menyeret tiga artis nasional, Sony teramat menyesalkannya. Sebab, artis punya peran sebagai role model, panutan bagi penggemar. "Dengan perkiraan 25 persen dari 30 juta penikmat video porno adalah remaja dini usia, sampai enam bulan ke depan, video mereka kemungkinan akan diakses oleh 1,5 juta anak."



Asumsi itu berpotensi diperparah dengan munculnya video baru yang dibuat oleh penggemar para artis tersebut. Sony berpendapat, razia di sekolah bukan solusinya. "Potong jalur distribusinya dan biarkan hukum yang bicara."

Sony menyebut tahun 2010 sebagai masa kemunduran. Ia mengakui, JBDK harus kembali memulai gerakannya dari nol. "Sepanjang tahun 2001 sampai 2010, kasus tiga artis ini yang paling parah dampaknya ke masyarakat."

Dalam kampanye JBDK, Sony juga mementingkan perilaku berinternet sehat. Ia ingin menteri pendidikan nasional memasukkan pedoman terhadap perilaku remaja di wilayah kekerasan pacaran dan pornografi-yang tengah disusunnya bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak-ke dalam kurikulum pendidikan. "Lalu, Asosiasi Pengusaha Jasa Internet Indonesia (APJII), Asosiasi Warung Internet Indonesia (Awari), Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta operator seluler mesti bekerja sama untuk mengeblok situs pengunduh video porno."

Strategi itu sekaligus untuk mencapai program 10 tahun JBDK. Pada tahun 2017, Sony menargetkan laju anak muda yang membuat video porno bisa dilambatkan. "Kalau tidak ada aksi nyata untuk menghentikannya, jangan kaget jika nantinya akan banyak video yang dibuat dengan cara kekerasan, seperti rekaman perkosaan ataupun melibatkan anak kecil," tutur Sony yang tengah menyiapkan buku kedua JBDK.

Bukan LSM

Sony mengaku, gerakan JBDK tidak memiliki payung organisasi. Siapa pun bisa ikut serta ataupun melenggang keluar dari barisan. "Kami bukan lembaga swadaya masyarakat," tegasnya.
Gerakan JBDK memang tidak sesolid semula. Konflik internal sesama penggerak membuat Sony berada di posisi yang sulit. "Yang mereka harus pahami, saya mengampanyekan JBDK tanpa imbalan."

Sony menuturkan, segala keperluan kampanye didanainya dari kocek pribadi. Misalnya, saat ia diminta hadir untuk menjadi narasumber dialog di beberapa stasiun TV swasta. "Ke Jakarta, saya pakai uang sendiri."

Sony juga memperlihatkan pemikirannya untuk tidak memformalkan gerakan JBDK ternyata pilihan tepat. Tanpa bendera organisasi, JBDK lebih mudah masuk ke masyarakat. "Karena digulirkan oleh pribadi-pribadi, tidak ada sentimen negatif yang muncul."

Para simpatisan JBDK semuanya tak bergaji. Sony memang tidak mencari bantuan pendanaan bagi gerakannya. "Saya sendiri, 50 persen waktu tersita untuk JBDK," tutur pria kelahiran Jakarta, 31 Juli 1972, yang juga berprofesi sebagai penulis skenario ini.

Kangen keluarga

Dengan padatnya jadwal mengisi acara, tak terganggukah keharmonisan keluarga Sony? Ia menggeleng. "Saya ini family man."

Di antara jeda agenda shooting untuk program talkshow di TV nasional, Sony kerap pulang ke Yogyakarta. Ia gampang kangen dengan keluarganya. "Kalau memungkinkan, istri dan ketiga anak juga saya ajak menemani perjalanan ke luar kota."

Apa yang gemar dilakukan Sony saat ada waktu luangnya? Ia mengaku suka main catur. "Saya juga sangat menikmati main game Barbie dengan putri saya," tandasnya tersenyum simpul.

semua tulisan di atas di ambil dari situs REPUBLIKA. Silahkan klik di link ini.

Comments

Keisya said…
Saya mendukung banget pak ,,, selamatkan anak anak kita untuk masa depan nya ...
Jejak Annas said…
saya melihat bugil di depan kamera sudah menjadi candu generasi sekarang. memang sangat ironis, tapi ada kesan, mereka yang bugil di depan kamera itu, seolah punya kebangaan tersendiri. padahal, apapun aktivitasnya itu, membuka aurat di depan publik, bagian aib yang sulit "dimaafkan"