A Time to Kill


Pernah nonton film "A Time to Kill?", film yang dibintangi Sandra Bullock, Samuel E. Jackson dan dirilis tahun 1996. Ceritanya tentang perjuangan seorang ayah yang nekat membunuh pemerkosa anaknya yang masih berumur 10 tahun. Film ini sarat dengan muatan rasisme, keadilan dan trauma korban anak yang disiksa dan diperkosa secara biadab oleh beberapa pelakunya.

Nggak nyangka, kejadian seperti film tersebut saya alami. Pada 20 april 2008, saya dihubungi Mas Rozy, beliau ini aktivis kemanusiaan dari yayasan Tikar. Telpon sore itu bunyinya singkat :

" Bisa ketemu? Lagi di Jogja? Saya punya kasus perkosaan balita yang dilakukan 7 pelaku. Salah satu pelaku adalah orang dewasa berumur 30 tahun!"

"Hah? oke mas, kita ketemuan. Kapan?"

"Nanti malam saya jemput, kita diskusikan bersama!"

Klik, telepon dimatikan, darah saya berdesir. Balita diperkosa? 7 orang? di Jogja? Singkat cerita, kami bertemu malam itu, bersama mas Yusron, Rozy, saya dan seseorang dari Jakarta yang kebetulan kami mintai tolong untuk bertindak. Cerita detail yang disampaikan Rozy adalah sebagai berikut :

Nama korban adalah Ravina (nama saya samarkan), umur 5 tahun, gadis kecil yang hidup bersama ibunya di wilayah Wonosari Gunung Kidul. Ayahnya jarang pulang, seumur hidupnya, ia hanya pernah melihat raut wajah ayahnya 3 kali. Entah apa yang membuat laki-laki tersebut jarang pulang mengunjungi keluarganya. Ibunya seorang pembantu, agak kurang pendengarannya dan tingkat intelektualitas yang di bawah rata-rata.

Ravina tumbuh sebagai balita yang tidak diawasi terus menerus oleh ibunya yang disibukkan dengan pekerjaannya sebagai pembantu. Sampai suatu saat, di tahun 2006, peristiwa memilukan itu terjadi, Ravina yang kala itu berusia 3 tahun, mengalami perkosaan pertama yang dilakukan oleh seorang pelaku berumur 30 tahun, kita sebut saja nama pelaku itu si Bendol.

Sang ibu hanya terdiam, dia tidak berani cerita kemana-mana ketika ia mengetahui anak balitanya mengeluh sakit pada alat kelaminnya. Tetapi celakanya, ini awal perkosaan-perkosaan berikutnya yang malah melibatkan pelaku-pelaku lain yang berumur antara 10-12 tahun.

Bagaimana cara bocah-bocah tersebut memperkosa Ravina? Ternyata, Si Bendol, pelaku dewasa berkali-kali melakukan pemerkosaan dan diintip oleh 6 bocah usia SD tersebut. Perbuatan tersebut memicu 6 bocah yang terangsang akibat menonton pemerkosaan yang dilakukan Bendol. Ditengarai pula, 6 bocah ini sering menonton film porno di rumahnya masing-masing.

Nasib malang menimpa Ravina, hingga usia 5 tahun, ia menjadi bulan-bulanan pemerkosaan oleh Bendol dan 6 bocah yang ikut serta menyiksanya. Bukan hanya diperkosa, kerap, Ravina disiksa habis-habisan dengan menusukkan potongan kayu ke dalam (maaf) vaginanya.

Kasus ini akhirnya terungkap setelah sang majikan tempat ibu ravina bekerja melihat keanehan dan pendarahan hebat yang dialami Ravina. Ia segera mengobati Ravina dan melaporkan kejadian ini ke Polres Gunung Kiduli. Ravina dalam keadaan depresi dan stress, balita ini kadang menampakkan perilaku yang aneh, sering berlaku seolah-olah sedang disiksa atau diperkosa.

Celakanya, kasus Ravina malah seperti didiamkan. Sudah 6 bulan sejak pelaporan berlangsung, para pelaku tidak ditangkap atau diadili. Bahkan keluarga Ravina, sang korban, mendapatkan teror intimidasi dari para orang tua pelaku. Mereka mengancam akan mengusir Ravina dari kampung dengan alasan pencemaran nama baik.

Tanggal 21 April 2008, tepat hari kartini, saya bersama teman-teman menuju Polres Gunung Kidul. Kami ingin meminta penjelasan Kapolres dan bertemu dengan Ravina dan keluarganya.

Teman, saya nggak bisa menahan airmata ini, saya bertemu dengan Ravina, gadis kecil 5 tahun yang tampak polos, cantik, tetapi sejuta rasa sakit dan kepedihan tidak bisa ia sembunyikan. Ia tampak malu-malu dan takut ketika diajak bicara. Ravina baru berumur 5 tahun! Biadab sekali mereka yang telah membuatnya bertahun-tahun menderita! Memperkosa dan merusak semuanya, Masya Allah!

Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil, kami nggak bisa ketemu Kapolres dan nggak ada keputusan dari polisi apakah kasus ini akan diteruskan atau tidak. Kami mendengar desas-desus, bahwa para pelakunya sedang menghapuskan berbagai macam barang bukti dan melakukan negosiasi ini-itu untuk menutup kasus ini.

Saya kesal sekali dengan kelambatan birokratis seperti ini. Apa-apaan ini semua? Sistem hukum tidak berjalan, Ravina yang sudah jelas menjadi korban malah terancam jiwanya. Ibu Bambang, majikan tempat ibu Ravina bekerja tiba-tiba mendekati saya sambil menggandeng Ravina dan berkata :

"Tolong mas, saya sekuat tenaga melindungi Ravina, tetapi saya mendapatkan berbagai macam ancaman, termasuk SMS yang terang-terangan hendak mengusir saya apabila tetap melindungi Ravina."

Saya tersentak, saya pandangi wajah ibu Bambang dan Ravina bergantian, duh Gusti,
ini nggak bisa didiamkan. Saya segera hubungi teman-teman di kementrian negara pemberdayaan perempuan, saya rasa, saya harus minta bantuan dari pusat, karena sistem hukum mandek ditingkat aparat lokal. Paling tidak, akhirnya saya mendapatkan sebuah pesan dari ibu Sofinas, salah seorang Asdep di KPP untuk tetap mendampingi Ravina, dan KPP berjanji untuk membantu kami.

Saya segera kabarkan pesan tersebut kepada teman-teman yang masih berdebat di ruang kantor Polres. Kita segera memutuskan untuk menarik mundur dan membawa Ravina dan keluarganya ke tempat yang lebih aman, sembari menyelesaikan kasusnya.

Jalan masih panjang dan berliku, Ravina tampak tersenyum kecil ketika rombongan kami pamit mundur meninggalkannya sambil berjanji untuk tetap menyelesaikan kasus ini dan menyelamatkan hari depannya. Tuhan, tolong dengar doa kami.

Kami tidak akan berhenti,

Sony Set, Rozy, Yusron Jogjakarta.
catatan : Ravina saat ini telah kami ungsikan ke sebuah pesantren di daerah Wonosari di bawah pengasuhan Kyai Harun. Saat ini kami sedang menggalang dukungan dari media press dan kementrian Pemberdayaan perempuan untuk bersama-sama membongkar kasus dan menyelamatkan Ravina. Semoga.

Comments

DANDO said…
Adyh, saya juga menangis membaca postingan Mas di atas. Keterlaluan semuanya, mulai dari pelaku, keluarga sampai aparat yang seharusnya menangani kasus ini dengan baik dan benar. Saya hanya bisa berdoa semoga kasus ini dapat diselesaikan dengan memberikan keadilan bagi Ravina.
KeiKai said…
Astagfirulloh ....
kok ada yang tega begitu ya ? apakah arus globalisasi dan generalisasi melalui media televisi saat ini sudah sedemikian parahnya di desa ?

Oke, kalo kita tinggal di kita banyak informasi positif yang bisa kita dapatkan sehingga mengimbangi dampak buruk, nah kalo di kampung biasanya mereka "menyerap" semuanya !!

ini juga jadi PR yang harus diselesaikan pihak kepolisian. Kenapa mereka tidak bertindak ? Maaf nih, bukan membuat buruk kredibilitas pihak kepolisian. tapi nampaknya banyak kasus yang "menguap" begitu saja !!! tanpa adanya kejelasan ...

ya, cuman di Indonesia yang bisa begini !!!
Husna said…
meski nggak bisa bantu apa-apa,saya dukung dan doakan upaya mas dan kawan-kawan untuk membongkar kasus ini. Hanya titip pesan, dalam menangani kasus ini, tetap perhatikan sisi psikologis revina ya. Jangan sampai pengusutan yg dilakukan justru menambah depresi si anak.
5 tahun??
Udah gila, ga punya otak, sedeng semua...
Oh myyyy
T_T
Unknown said…
Ini sangat keterlaluan. Tapi memang bisa terjadi. Menurut saya, pelaku harus dihukum, baik yg dewasa, maupun anak2 itu (dg cara yg bisa mereka mengerti bahwa apa yang mereka lakukan itu salah).

Saya setuju dg keikai bahwa masyarakat dikampung cenderung langsung menyerap apa yang mereka lihat di TV/media -- tanpa melakukan screening apapun. Apa yang mereka lihat di TV (baik itu sinetron maupun film2 manapun) adalah hal yang patut dilakukan.

Saya berharap SDM ditingkatkan, melalui sekolah dan penyuluhan. (Saya tahu sekolah mahal dan penyuluhan PKK entah masih ada atau tidak -- tp mungkin ini yang memang harus digalakkan lagi).

All the best dan salut untuk team yg memperjuangkan keadilan untuk Ravina dan keluarganya. Saya sgt berharap ini berhasil.
Anonymous said…
WAH kasus di Jogja ya?
Bukankah setahu saya ada lembaga yang mendampingi perempuan di isu-isu kekerasan terhadap perempuan, sejauh apa mas Sony tahu perjalanan kasus ini?
atau kita ketemuan aja yuk buat diskusikan kasus ini karena saya juga live in Jogja lho...
Unknown said…
Setelah 5 tahun lewat sekarang gimana kelanjutannya kisah Ravina bang Sony?