Karena Menjadi Digital Adalah Keharusan….

Diambil dari tulisan saya pada situs http://mizan.com/news_det/karena-menjadi-digital-adalah-keharusan.html


Oleh: Sony Adi



Buku digital bersanding dengan buku konvensional (Gambar: archesnews.com)Buku digital bersanding dengan buku konvensional (Gambar: archesnews.com)

Seorang teman, pimpinan dari sebuah perusahaan penerbitan di Yogyakarta mengungkapkan rasa irinya terhadap setiap situasi pameran komputer yang kerap diselenggarakan.
“Andaikan setiap pameran buku dapat meraih pengunjung yang membludak layaknya pameran komputer, maka kita tidak akan pusing dengan bisnis perbukuan,” ujarnya dalam sebuah pertemuan antar penerbit yang diselenggarakan IKAPI Yogyakarta.

Tentunya ungkapan tersebut bukan sekadar gurauan, tetapi sebuah gambaran betapa ramainya transaksi pembelian barang-barang teknologi informasi dalam sebuah pameran teknologi sangat tidak imbang bila dibandingkan dengan transaksi pembelian buku dalam setiap pameran yang diselenggarakan para penerbit.

Secara kasat mata, kita akan mudah melihat betapa ramainya pengunjung yang datang di setiap pameran komputer yang biasanya dikombinasikan dengan pameran peralatan teknologi bergerak seperti telepon genggam dan tablet elektronik. Mari kita bandingkan dengan penyelenggaraan pameran buku. Dari tahun ke tahun, selalu saja kita mendengar keluhan para penerbit yang merasa turunnya tingkat pendapatan.

“Saingan kita bukan hanya pameran komputer. Bahkan pameran produksi kaos distro yang dikemas dengan pertunjukan musik lebih menarik minat pengunjung dibandingkan dengan pameran buku,” sambung teman saya tersebut dengan nada bergurau. “Bahkan, bisnis penjualan buku saat ini malah kalah telak dengan bisnis jual beli pulsa!”

Saya penasaran dengan ungkapan senda gurau di atas. Walaupun kesannya main-main, situasi yang disebutkan adalah kondisi nyata yang sedang terjadi di Indonesia. Lalu saya mencoba melihat ke masa silam yang terjadi pada tahun 1985, saat pameran komputer pertama diselenggarakan di Jakarta. Saat itu teknologi komputer adalah barang mahal yang tidak dimiliki setiap orang. Walaupun dipadati ribuan pengunjung, tingkat transaksi pembelian komputer masih sangat minim. Pembelinya kebanyakan perusahaan atau lembaga pemerintah yang mulai menggantikan pemakaian mesin ketik dengan komputer personal. Komputer personal belum menjadi sebuah kebutuhan. Saat itu era mesin ketik masih di puncak kejayaan. Tidak ada yang menduga, bahwa peralatan komputer di generasi awal tersebut, kelak menjadi barang yang sangat diminati masyarakat.

Sementara, di tahun yang sama, Toko Buku Gramedia Matraman baru saja dibuka, dan peluncurannya menghasilkan tingkat kehebohan yang luar biasa. Masih teringat dengan jelas, setiap penulis buku terkenal seperti Hilman Hariwijaya, penulis Lupus, menjadi tokoh terkenal dan digilai para fansnya. Tingkat penjualan buku pada saat itu sangat tinggi. Orang masih doyan membawa buku atau novel kemanapun mereka pergi. Banyak sekali orang yang memilih untuk membaca buku dibandingkan menonton acara televisi yang saat itu hanya dimonopoli oleh TVRI.
Memasuki era 90-an, kondisi dunia perbukuan masih cerah. Kita masih ingat tingkat penjualan majalah dan komik naik secara signifikan. Orang masih senang berlangganan majalah dan membaca buku sebagai sebuah keharusan. Pada jaman itu, saya masih berlangganan 2 majalah dan membeli buku minimal 1 kali dalam sebulan. Namun pada saat yang sama, bisnis peralatan teknologi informasi mulai menggeliat. Ditandai dengan lahirnya istilah “komputer jangkrik”, yaitu sebuah peralatan komputer yang dapat dirakit oleh siapa saja dan dengan biaya yang lebih murah dibandingkan membeli komputer merk terkenal. Bisnis perakitan komputer jangkrik tiba-tiba menjadi fenomena. Pembeli berduyun-duyun mengalihkan sebagian uang mereka untuk membeli barang tersebut. Saat itu, tingkat kepemilikan peralatan komputer di Indonesia mulai naik perlahan-lahan. Namun, hal tersebut belum disadari para penerbit buku sebagai pesaing di masa yang akan datang.

Lalu datanglah era internet yang mulai meledak sejak akhir 90-an. Tiba-tiba saja, setiap orang berlomba mendapatkan informasi dalam bentuk digital yang gratis dan bisa diunduh lewat internet. Saat bersamaan, teknologi telepon seluler hadir yang menjadi bisnis raksasa dan dikonsumsi ratusan juta rakyat Indonesia.
Pada titik ini, penerbit buku tersadar terjadi sebuah perubahan pola konsumsi dari para konsumen/ pembaca produk mereka. Para pembaca di era terkini menemukan sebuah bentuk baru dalam membaca teks. Mereka lebih memilih membaca dengan menggunakan teknologi dalam bentuk digital. Mereka menyerap informasi tidak melalui Koran, buku cetak, majalah atau segala hal yang dicetak dengan menggunakan kertas.

Bahkan, saat ini mereka lebih memilih peralatan bergerak seperti tablet digital dan smartphone untuk menyerap informasi penting yang dibaca setiap saat. Dan terpuruklah bisnis penerbitan buku. Kebiasaan membaca yang berubah dengan menggunakan peralatan digital menurunkan minat untuk membeli buku cetak. Asumsi tersebut diambil dari laporan data penjualan buku yang terus menurun di toko buku besar sekelas Gramedia. Memang tidak adil membandingkan penjualan buku dengan peralatan digital. Tetapi pada kenyataannya, uang mengalir begitu deras terhadap tingkat konsumsi peralatan digital dan hal yang sebaliknya terjadi pada konsumsi dan minat baca buku cetak.

Beberapa penerbit mencoba mulai memasuki ranah digital. Berkaca dengan keberhasilan Amazon yang sukses menjual buku digital yang dikemas dalam tablet Kindle besutannya, penerbit di Indonesia mulai merangkul produsen tablet digital untuk bersama mengembangkan bisnis buku digital. Ada yang menggunakan pendekatan penjualan lewat potong pulsa, penjualan lewat poin dan kartu ATM, bahkan ada yang melakukan strategi bundling, menjual tablet digital yang diisi ratusan buku digital yang disediakan para penerbit.

Segala hal diujicobakan, demi menyelamatkan bisnis penerbitan buku yang saat ini jauh menurun secara omzet. Ranah digital menjadi wilayah yang cukup menggoda bagi para penerbit yang merasa harus segera merubah diri dan merubah format buku mereka menjadi format digital yang instan. Belum ada yang terlihat berhasil, semua masih dalam tahap coba-coba. Beberapa perusahaan penyedia layanan buku digital seperti Wayang Force, Buku Tablet, XL Baca dan QBaca mencoba menjalin kemitraan dengan penerbit buku cetak.

Mereka yakin, bahwa suatu saat, minat baca masyarakat Indonesia terhadap buku digital akan tumbuh. Mereka yakin, bahwa suksesnya Amazon dan Barnes n’ Nobble dalam bisnis penjualan buku digital akan bisa diduplikasi dan dilakukan di Indonesia. Dan kita akan menunggu sampai kapanpun hingga waktu itu tiba. Waktu yang menjadi dambaan para penerbit buku di Indonesia. Saat minat baca dan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia demikian tinggi seperti era 90-an. Sebuah pekerjaan besar yang membutuhkan sinergi antara dunia digital dan dunia penerbitan cetak.

Comments