Dari Diskusi Santai Jogja Media Net 28 Des 07 - "Where do you wanna Go Today? Wahai para pemain TV Lokal?"



Salah satu hal yang menarik dari hasil diskusi santai tentang pertelevisian di Jogja Media Net, 28 Desember 2007 adalah kita merayakan ‘ulang tahun undang-undang Penyiaran’ ke 5 sejak dikeluarkannya pada tahun 2002. Kita mengkritisi sebagian pasal di dalam UU penyiaran tersebut. Khususnya terkait implementasi pasal 60 yang mengatur tentang batas akhir waktu bagi semua lembaga penyiaran televisi untuk bersiaran dengan sistem berjaringan atau biasa dikenal dengan Sistem Stasiun Berjaringan (SSB).

Dan seperti bisa ditebak, undang-undang tinggallah undang-undang, peraturan masih bisa ditunda dan semua pasal bisa (tidak) dilaksanakan, karena seperti kita tahu, Undang-Undang tersebut mengalami penundaan pelaksanaan. Alasannya masuk akal, kurang siapnya instrumen pemerintah, industri tv nasional dan lokal dan berbagai masalah teknis lainnya termasuk SDM.

Tapi itu tidak menutup diskusi gayeng malam itu. Hadir pak Paulus dari ATVLI (asosiasi televisi lokal Indonesia), rekan-rekan dari KPID, Pak Dani dan Mas Yuyun dari Jogja Media Net, serta perwakilan dari media massa, JOGJA TV dan para calon investor TV Lokal di Jogja. Dengar-dengar gosip, ada 7 calon investor TV Lokal baru yang bakal berdiri di Jogja. Salah satunya adalah perwakilan dari Malioboro TV yang terdengar kabar santernya, akan mengudara di Jogja per tahun 2008.

Nah masalahnya, kanal frekwensi untuk siaran tv di Jogja katanya tinggal 1 biji! Dan itu harus diperebutkan oleh para calon-calon investor tersebut. Menurut pak Paulus, kalau UU Penyiaran diberlakukan secara konsisten, seharusnya 7 calon TV Lokal baru di Jogja bisa segera siaran segera. Lha caranya? Nah ini dia, kanal-kanal yang dihuni oleh stasiun tv nasional yang sekarang berwira-wiri di udara jogja harus dikosongkan dan segera dialihkan kepada para pemain lokal. Waduh??

Saya hanya bisa membayangkan, suatu hari nanti, bakal berdiri stasiun-stasiun tv perwakilan nasional yang mengudara dengan siaran lokannya, bukan sistem sentralisasi siaran yang terjadi saat ini. Bukankah semua televisi swasta nasional sekarang ini, dulu adalah tv-tv lokal dengan siaran terbatas di wilayah jabodetabek (RCTI, INDOSIAR) dan surabaya (SCTV) di era 88-92? Lain halnya dengan TPI yang sedari dulu menggunakan peralatan TVRI untuk bersiaran nasional demi pendidikan nasional , tapi seperti kita tahu, TPI berubah bentuk tidak menjadi televisi pendidikan tetapi menjadi TV….yah seperti tv-tv lainnya.

Saya coba mengkritisi tentang keberadaan tv-tv lokal yang saat ini sedang berjuang bersaing memperebutkan pasar lokal. Banyak tayangan tv-tv lokal saat ini cukup menarik disimak dan memperlihatkan kearifan lokal. Kalau ditilik dari kacamata budaya, tv-tv lokal di jawa tengah dan DIY sudah cukup menampilkan muatan budaya dan berbagai macam elemen lokal yang layak disajikan. Namun sekali lagi, tampaknya mereka harus bersaing habis-habisan untuk melawan tayangan ‘hiruk pikuk’, kelas sinetron, gosip ibukota dan berbagai audisi serius hingga dagelan khas tv nasional.

Permasalahannya, sampai berapa mereka dapat bertahan dengan idealisme seperti itu? Kalau kekuatan tv lokal bergantung terhadap iklan, lalu sampai seberapa kuat mereka menahan serangan tayangan metropolis?

Rekan dari KPID Jogja mengatakan, bahwa sejak ramainya bursa pencalonan Pilkada, belanja iklan ‘politik’ di daerah DIY dan Jawa Tengah naik berkali lipat. Iklan politik yang menampilkan calon kepala daerah banyak menghiasi layar televisi di daerah. Dari sekedar ucapan selamat hari raya, hingga acara nyanyi bareng, menjadi lahan bisnis baru yang diramu dengan nilai lokal banget! Menurut data, ada sebuah stasiun televisi lokal yang mendapat nilai iklan per bulan sebesar 600 juta, karena adanya kenaikan permintaan iklan politik. Nilai ini katanya akan bertambah memasuki tahun 2008-2009 yang konon akan menyedot partai-partai besar berpaling berkampanye di daerah lewat layar-layar kaca dengan biaya iklan yang lebih murah berkali lipat dibandingkan tv nasional di jakarta.

Berarti ada rumus ajaib, kekuatan politik di daerah dapat membantu pendapatan iklan tv  lokal! Wah? Sah-sah saja, selama iklannya tidak menyesatkan dan para calon kepala daerah jika terpilih dapat lebih membantu tv lokal tersebut.

Tapi permasalahannya, Politik bukan barang yang mudah ditebak. Isu politik banyak menyebar janji pada saat pemilihan, namun tidak bisa dijadikan pegangan kelangsungan bisnis tv Lokal itu sendiri. Jelas tidak mungkin mengharapkan iklan setiap bulan selama setahun berisikan kampanye-kampanye para jagoan pilkada. TV Lokal harus mencari celah baru untuk bisa menghasilkan content yang bermutu dan menarik para pemasang iklan.

Nah ini dia, diskusi malam itu tidak dihadiri para biro iklan di Jogja. Jadi bagaimana bisa menerka cara mereka berpikir dan beriklan? Atau kita pasrahkan saja semua berdasarkan perhitungan rating AC Nielsen? Lah? TV Lokal itu dapat rating berapa? Bisa berantakan kalau bergantung dengan tolok ukur sistem tersebut.

Content dan Kreatifitas.

Saya pernah membuat workshop untuk sebuah televisi swasta di jawa tengah. Saya mengemukakan konsep, bahwa untuk bisa bertahan dan berkembang, sebuah televisi lokal harus mempunyai sebuah produk yang bisa ditayangkan dan menghasilkan iklan yang banyak. Masalahnya, para pengiklan sering kali tidak mau membeli slot iklan pada tv lokal karena mereka meragukan masalah rating dan sebagainya. Lalu saya bilang ke mereka, bagaimana kalau bergandengan tangan dengan televisi swasta nasional?

Konsepnya begini : Seandainya TV Lokal dapat membuat konsep kreatif yang hebat dan dipresentasikan ke TV Swasta nasional, lalu setelah itu terjadi pola kerja sama – join operation untuk membuat program yang sudah disepakati, maka TV Lokal dapat bertindak sebagai Production House atau Tim kreatif untuk acara yang dibuatnya. Dulu, sebelum grup lawak TeamLo asal Solo terkenal, grup ini kabarnya pernah mengisi beberapa kali di sebuah stasiun tv Lokal. Namun karena mereka merasa tidak berkembang, grup Team Lo mengadu nasib ke jakarta dan ternyata mendadak berhasil merajai dunia komedi sepanjang 2005-2006.

Andaikan saja, stasiun televisi lokal yang dulu membidani acara lawak yang menggunakan Team Lo jeli melihat peluang tersebut, tentu stasiun televisi tersebut dapat mengembangkan sayap sebagai tim kreatif dan production house untuk tayangan Team Lo dan dapat ditawarkan ke televisi nasional dengan sistem join operation. Nah masalahnya, mungkin mereka tidak mengembangkan divisi kreatif yang jeli melihat potensi Local Content. Mereka (para tv lokal) seharusnya dapat mengembangkan berbagai macam bakat, ide kreatif hingga setiap SDMnya yang bisa diajak berproduksi dan dapat tayang secara nasional.

So? Kapan-kapan saya nulis lagi soal local content yang enak digarap di DIY dan Jateng. Karena saya lagi berjibaku di kedua daerah ini.

Hidup Local Content!

Sony Set
“Jangan Bugil di Depan Kamera!” : Local Content, Think Global hehehe
http://tvlab.blogspot.com

Comments

Anonymous said…
Gostei muito desse post e seu blog é muito interessante, vou passar por aqui sempre =) Depois dá uma passada lá no meu site, que é sobre o CresceNet, espero que goste. O endereço dele é http://www.provedorcrescenet.com . Um abraço.
Anonymous said…
Gostei muito desse post e seu blog é muito interessante, vou passar por aqui sempre =) Depois dá uma passada lá no meu site, que é sobre o CresceNet, espero que goste. O endereço dele é http://www.provedorcrescenet.com . Um abraço.