Harian Tempo16 Mei 2010

Surat Kontrak Pacaran

sumber : Tempo Interaktif



Sony Adi Setyawan, 38 tahun, menimang-nimang sebuah cakram digital di tangannya yang diberikan seorang teman, awal 2007. Ia tak tahu data apa yang tersimpan di dalamnya. Sesampai di rumah, ia membukanya di komputer.

“Saya kaget, isinya ratusan cuplikan adegan pornografi dengan format 3gp,” kata Sony melalui telepon, Jumat lalu. Setelah dicermati, ternyata adegan-adegan itu hampir semuanya diperankan oleh pemain lokal. Lokasi pengambilan gambarnya pun tersebar dari berbagai daerah di negeri ini. Keesokan harinya, ia masih saja terbayang-bayang dengan berbagai adegan tak senonoh di dalam cakram itu. Sony tak munafik bahwa ia terhibur dengan tayangan tersebut.

Tapi sisi kemanusiaannya saat itu merasa terenyuh dengan fenomena yang terjadi. Ia tak ingin sekadar ikut tertawa-tawa dan menganggap wajar berbagai adegan mesum tersebut. Kesadarannya membuat Sony gusar. Lalu ia mulai berkampanye kecil-kecilan di sebuah mailing list (milis) Internet. Di sana ia menyebut maraknya peredaran video pornografi anak negeri ini adalah sebuah kesalahan sosial. “Tanggapannya ramai, dan anggota milis lain ternyata banyak berpendapat sama,”katanya.

Praktisi pertelevisian ini lantas memberanikan diri mendeklarasikan gerakan Jangan Bugil di Depan Kamera (JBDK) pada 11 April 2007. Dari kampung halamannya di Yogyakarta, ia mensosialisasi gerakan itu lewat blog pribadinya di http://tvlab.blogspot.com. Gerakan itu kini menggema ke seluruh Indonesia. Ia sengaja tak memformalkan gerakan tersebut. “Saya ingin ini jadi gerakan moral, tidak mau dipersulit perkara birokrasi,” katanya.

Kini Sony mengaku hampir tiap minggu berkeliling ke berbagai daerah untuk berkampanye melawan pornografi di kalangan remaja. Dengan menggandeng sebuah perusahaan penerbit,mereka mendatangi satu sekolah ke sekolah lain. Mengajak murid-murid agar menjauhi bahaya pornografi di tengah kian majunya teknologi saat ini. “Remaja kita banyak yang menjadi korban pornografi, seperti foto dan video porno,”katanya.

Sementara pada 2007 peredaran video porno yang melibatkan remaja dan diproduksi oleh kalangan remaja melalui kamera telepon seluler ada sekitar 500 video, kini angkanya sudah melesat jauh. “Kami memperkirakan ada sekitar 750 hingga 900 video porno lokal yang sudah beredar,” kata dosen mata kuliah produksi program televisi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.







Sony menyebutkan saat ini peredaran video pornografi lokal sudah makin brutal. Korbannya adalah anak-anak dan remaja usia sekolah. Ia memprediksi, bila tidak dicegah dari sekarang, pada 2017 jumlahnya akan semakin tinggi. “Saat ini saja video porno dengan pelaku anak SMP sudah sangat banyak,” katanya.

Bersama Kementerian Pemberdayaan Wanita dan Perlindungan Anak, gerakan JBDK mencoba membuat gebrakan, yaitu membuat “Surat Kontrak Dating” atau surat kontrak selama pacaran bagi pasangan usia sekolah. “Isinya berkisar hak dan kewajiban agar hubungan yang dibangun adalah pacaran yang sehat,”katanya.

Konsep surat semacam itu sudah dipraktekkan di Amerika Serikat dan Australia. Di surat itu tercantum kesepakatan agar selama masa pacaran tidak terjadi kehamilan, yang bisa mengganggu sekolah mereka. Untuk Australia, Sony menambahkan, para siswi yang sudah berpacaran secara rutin wajib melaporkan aktivitas seksual mereka agar melakukannya dengan sehat. “Semuanya diawasi langsung oleh guru pengawas sekolah.”

Selama pacaran, mereka juga dilarang saling melakukan kekerasan, termasuk kekerasan seksual.“Salah satu poinnya, sepakat tidak akan melakukan hubungan badan,”katanya. Kontrak ini juga untuk membuka tabu yang selama ini ada di masyarakat. Remaja, katanya, mengira pacaran adalah hal yang privat. Karena itu, mereka enggan melibatkan orang tua. “Tapi, ketika ada masalah, orang tua sulit menengahi karena tidak tahu masalah mereka,”kata Sony.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi memberi syarat bila surat kontrak berpacaran hendak diterapkan. “Jangan ada pemaksaan dalam menyepakati surat kontrak itu,” katanya melalui sambungan telepon kemarin pagi. Bila pembuatan surat itu mengandung unsur paksaan terhadap anak, kata Kak Seto, justru melanggar hak anak. Bukan malah melindunginya.“ Semua dilakukan harus dengan cara-cara demokratis,” katanya.

Di satu sisi, Kak Seto mendukung program surat kontrak ini, asalkan untuk kepentingan anak. Sebab, surat ini memiliki misi melindungi anak dan remaja dari kekerasan seksual dan fisik.“Sejauh demi kepentingan anak, orang tua dan dewasa harus mendukung,”katanya.

Sony sadar kampanye terbarunya ini pasti akan ditentang banyak pihak, terutama para orang tua dan kaum konservatif. Padahal, dengan adanya keterbukaan, masalah pornografi di kalangan anak bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Karena itu, ia bersama orang-orang yang sepaham dengannya lebih berfokus mendekati para remaja.“Mereka adalah manusia yang juga punya hak yang sama dengan orang dewasa,”katanya.

Sony juga sadar bahwa JBDK adalah perlawanan tidak seimbang melawan jutaan kasus pornografi dari seluruh dunia. Apalagi industri pornografi semakin pesat, peminatnya semakin banyak. Gerakan ini adalah gerakan moral untuk mengingatkan remaja agar tidak terjebak dalam dunia pornografi. Dan,“Meskipun gerakan ini mati, setidaknya kami sudah pernah melawan pornografi.”

● MUSTAFA SILALAHI

Comments

Anonymous said…
saya lihat oom di acara Barometer. jadi semngat ikut dukung dari belakang ;)
Bang NgangaN said…
yups saya juga turut mendukung..