Jangan Bugil di depan Detik.com!

Bersama Sony Adi Setyawan
(1)Mengkampanyekan Jangan Bugil
Deden Gunawan - Tim Wawancara

Jakarta, Setelah buku Jangan Bugil Di Depan Kamera dirilis, nama Sony Adi Setyawan, penulis buku tersebut langsung mencuat. Ia sering diminta kesediannya diwawancara atau menjadi pembicara dalam acara dialog di radio dan televisi.

Memang tulisan Sony kali ini cukup heboh. Dari penelitian Sony yang dilakukan timnya terungkap kalau dalam sehari setidaknya ada dua video porno dihasilkan oleh anak-anak muda Indonesia. Ironisnya, 90 persen pembuat sekaligus pemainnya adalah pelajar dan mahasiswa. Bahkan ada yang masih duduk di bangku SMP.

Selain menulis buku, pria kelahiran Jakarta, 31 Oktober 1972 ini juga giat berkampanye tentang bahayanya bugil di depan kamera. Sejumlah kampus di Yogjakarta dan Semarang sempat didatangi untuk memberikan himbauan tersebut.

Apa alasan Sony tertarik melakukan penelitian tentang video porno? Berikut petikan wawancara detikportal dengan Sony Adi Setyawan:

Sejak kapan mulai meneliti soal video porno?

Saya dan beberapa teman mulai melakukan penelitian untuk buku yang saya buat tahun 2005-2006. Awalnya karena saya berkecimpung di dunia internet. Di internet, saya seringkali melihat video atau foto anak-anak muda Indonesia berbugil ria, dan rata-rata mereka masih duduk di bangku sekolah atau kuliah.
Mulanya biasa saja. Tapi lama-lama saya melihat update video porno di internet sehari bisa dua kali. Saya tentu sangat terlecut hati. Kok bisa seperti ini. Bagaimana moral pemuda kita, terutama pelajar dan mahasiswa.

Di awal 2005 saya bersama seorang teman akhirnya mengadakan penelusuran ke sejumlah kampus dan sekolah.

Untuk mengetahui sekolah-sekolah yang terindikasi muridnya mengabadikan adegan mesumnya bagaimana?
Kebetulan teman saya sehari-hari berkecipung dalam penelitian tentang perilaku anak sekolah di Yogjakarta. Saya kemudian meminta bantuannya. Dan ternyata dari penelusuran teman saya tersebut banyak sekali pelajar dan mahasiswa yang merekam adegan mesum mereka. Ada yang sudah terpublikasi di internet ataupun hanya sebatas dokumentasi pribadi.

Saya kemudian mengembangkan temuan teman saya tersebut ke sejumlah daerah, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Sulawesi. Terutama di sekolah-sekolah siswanya pernah diberitakan membuat video porno.

Apakah rata-rata pelajar atau mahasiswa yang ditemui mau mengaku?

Kalau yang pria kita tidak kesulitan untuk meminta keterangannya. Mereka sangat terbuka kepada kita. Bahkan mereka merasa banggga melakukan hal tersebut. Tapi pemain perempuannya yang kita agak kesulitan. Sebab mereka umumnya sangat shock dengan perekaman itu. Apalagi sampai dipertontonkan kepada orang lain.

Tapi saya pernah bertemu dengan seorang ibu muda di Jakarta yang berterus terang telah dirugikan akibat video porno tersebut. Ibu itu merasa dikhianati pacarnya dengan meminta sejumlah uang. Kalau tidak dibayarkan mantan kekasihnya itu akan mempublikasikan video adegan ranjang mereka berdua.
Bagaimana ceritanya bisa bertemu dengan perempuan tersebut?

Saya kenal sama dia melalui chatting. Setelah lama kita ngobrol di chatting kemudian kita janjian bertemu di sebuah kafe di Jakarta. Saat itulah dia bicara panjang lebar soal video tersebut.
Saya kasihan juga melihatnya. Saya kemudian berpikir ternyata video porno itu dampaknya sangat luas. Sebab sudah masuk ke wilayah kriminal, bukan sekedar asusila saja. Untuk itu kami dan teman-teman kemudian sepakat untuk melakukan sebuah kampanye tentang bahayanya bugil di depan kamera.
Selain itu kita juga membuka crisis center untuk para korban atau keluarga korban video porno. Kami berharap dengan keberadaan wadah ini bisa dijadikan tempat untuk mengurangi beban psikologis bagi para korban.

Kalau untuk prianya sendiri bagaimana. Menurut Anda mereka kebanyakan merasa bangga telah beradegan mesum di depan kamera?

Ini memang uniknya. Saya juga heran kenapa mereka bisa se-cuek itu. Bahkan saya sempat berpikir kalau mereka itu mengalami kelainan. Entah apa istilahnya. Yang pasi saya merasa heran saja dengan perilaku mereka.

Malah di beberapa sekolah yang kami datangi ada kelompok yang memproklamirkan diri sebagai kelompok hunter. Mereka ini sukanya bertaruh dalam mendapatkan seorang gadis. Masing-masing anggotanya berlomba untuk bisa memacari gadis itu, mengajak tidur dan merekam adegan mesum dengan gadis itu. Siapa yang bisa akan diberi hadiah berupa uang taruhan yang telah dikumpulkan masing-masing anggota yang jumlah nominalnya beragam.

Saya melihat ini sudah kelewatan. Dan bahayanya di sejumlah sekolah banyak kelompok-kelompok seperti ini.

Di sekolah-sekolah mana saja mereka berada?

Saya tidak bisa menyebutkan nama sekolahnya. Tapi daerahnya ada di Jakarta, Yogja, Bandung, Semarang, Surabaya, Sulawesi dan Makasar. Umumnya di sekolah-sekolah swasta yang murid-muridnya kebanyakan perempuan.

Ciri-ciri kelompok ini seperti apa?

Mereka umumnya berpenampilan good looking dan berasal dari kalangan berada. Mereka sanggup menyewa hotel dan menyiapkan alat-alat perekam.

Malah untuk merekam adegan mesum yang mereka buat menggunakan lebih dari satu kamera. Bayangkan saja, mereka benar-benar menyiapkan diri secara matang. Terkadang video yang digunakan untuk merekam merupakan perangkat yang canggih.

Yang jadi targetnya siapa saja

Umumnya yang mereka kenal. Bisa teman satu kelas atau satu sekolahan. Dan yang diincar adalah gadis yang menjadi primadona di kelas atau di sekolah tersebut.

Apakah tidak ada yang melaporkan ulah mereka?

Para korban rata-rata tidak ada yang berani melapor karena merasa malu. Mereka sudah sangat tertekan dengan video itu. Kalau melapor tentu peristiwa itu akan terpublikasi dan para korban semakin malu jadinya. (den)

Comments